'disini untuk koding ga bisa di copy display:block; -webkit-user-select:none; -moz-user-select:none; -khtml-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; unselectable:on;

.

Pulsa Murah

Para Pembawa Bunga Api



Dentuman kegelisahan intimidasi ketenangan
Ruam sudah daratan rata
Emosi cinta meluap deras
Logika tak lagi berdaya
Ketakutan tak lagi beban
Kematian bukan halangan,
Hanya pintu lain dari sebuah perjalanan
Mulut terdiam, tatap menajam, kaki melaju
Dan tangan menggetar juang
Menghempas liar bunga api
Menyeruak melahap musuh

Terlambat sudah…
Ratusan butir peluru terlepas dari kandangnya
Melahap jiwa para pembawa bunga
Menyisakan isak tangis penjuru negeri
Bergema ke setiap sudut dunia

Aku takut, tapi marah. Kebimbangan terus menyelimuti diri. Mengapa kematian begitu menakutkan, hingga membuatku menjadi seorang pengecut. Harus berapa kali meyakinkan diri negeri tercinta menangis darah.

Satu jam lamanya dalam kegundahan. Tarik ulur keyakinan membebani diri. Ingin kulangkahkan kaki menuju api pertempuran, tapi cita membayangi. Aku siap mati demi negeri, tapi bayangan hasrat seperti menikmati musik, bermain game, berceloteh penuh canda bersama teman-teman atau hal-hal biasa yang dilakukan pemuda seumuranku menariku dalam khayal indah. Aku lemah….

Kutarik napas, dan kuhembuskan penuh keyakinan. Biarlah indah khayal yang tak tergapai terwaris untuk adiku.  Kekuatan hati melangkahkan kaki untuk keluar menuju medan perang. Pelukan, kecupan, dan senyuman terindah dan terakhir dari Bunda tercinta telah menghantarku. Air matanya yang berlinang mengalirkan pesan bahwa kami akan bertemu lagi di surga.

Kuberlari cepat. Dan semakin cepat. Semakin dekat, dadaku semakin berdegup kencang. Akhirnya aku sampai di depan gerbang angkuh yang berhiaskan kawat tajam yang selalu menertawai kematian teman-temanku.

Melodi tak karuan dari peluru yang menghantam jalanan memberikan kebisingan yang nyata. Asap yang menyelimuti kedua kubu tak mau pergi. Terdiam penuh iba. Menyelubungi agar tiada tikai. Sayang tekad kedua kubu berasaskan titik juang masing-masing.

Kuhempaskan bunga api. Dia meliuk-liuk indah di udara dan menerkam ganas tiga pasukan musuh. Seketika itu juga, tusukan-tusukan gas air mata yang melesat dari udara menjeritkan mataku. Pijakan tak lagi jelas, tubuhku sedikit limbung.

Raungan senjata musuh kembali terdengar keras. Ratusan peluru haus darah melesat cepat mengincar tubuh-tubuh tak berpelindung. Dalam kaburnya pandangan, kulihat teman-temanku berguguran satu demi satu.

Satu lagi bunga api terhempas dari tanganku. Perasaan bangga menyunggingkan senyum di bibirku diringi dengan hangatnya darah mengalir dari dada dan pahaku. Sesaknya nafas menghantarku menuju gerbang keabadian. Mungkin bagi sebagian orang yang aku lakukan adalah perbuatan sia-sia, tapi bagaimana jika mereka berada di posisiku. Terang dalam perang dan damai dalam gelap.

Selamat tinggal ibu.

0 komentar: