'disini untuk koding ga bisa di copy display:block; -webkit-user-select:none; -moz-user-select:none; -khtml-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; unselectable:on;

.

Pulsa Murah

FEURZ

Aku terpuruk dan hancur. Keluarga dan negeriku tercabik di hadapan mata. Lemah. Aku sungguh bajingan lemah yang tak bisa berbuat apa-apa! Harusnya ku mati bersama mereka, daripada menanggung beban sebagai pangeran tak berguna.

***

Suara sirine dari berbagai penjuru negeri memekakan telinga. Dentuman meriam dan suara senapan mengalir mengikutinya begitu cepat. Ayahku, sang raja, melesat bersama para jendral tertinggi dengan kuda perang mereka. Dan Aku, terdiam dalam lingkar kecemasan bersama ibu dan kedua adik perempuanku.

Aku bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya. Baru kali ini ada pasukan musuh yang mampu memasuki negeriku yang sangat kuat. Apakah mereka monster? Ataukah ini hanya mimpi.
Aku tersadar dari kesombongan anggapan saat ratusan pengawal terbunuh dengan sangat mengerikan. Dan saat itulah pertama kalinya kulihat sosok makhluk terkutuk dengan wajah yang sangat buruk.

Aku berusaha menyelamatkan ibu dan kedua adiku, sayang mereka tak mampu melarikan diri dari cengkraman tangan setan-setan itu. Aku berlari tanpa menoleh lagi ke belakang. Dengan hati yang luka dan penuh keputusasaan, kunaiki tangga menuju puncak kastil, karena disana terdapat balkon tempat biasa ku sembunyi jika marah kepada ayah.

Empat hari aku terdiam dalam cekam. Tak satu tetes air matapun yang keluar, malah hasrat untuk mati lebih besar dari hal apapun yang kuinginkan didunia ini. Aku frustasi, sedih, marah, dendam dan kecewa. Semua bercampur aduk dalam raga penuh kepayahan.

***
Sepuluh tahun berlalu, dan aku masih merasakan kepedihan ini. Semakin dalam kepedihanku, semakin dalam pula ku berjuang menemukan asal mereka. Berkat pengorbanan para prajurit dan sukarelawan, dan juga kerjasama antar kerajaan, ambisiku semakin menjadi nyata.

Kini aku sudah berdiri diatas tanah pulau hitam, pulau dimana penyihir perempuan terkutuk Volteriz menciptakan setan-setan yang mencabik keluarga dan rakyatku. Dalam lautan dendam, aku dan para sekutu sangat menantikan hari ini. Mati-pun tak jadi masalah daripada hidup menanggung kenangan yang sangat menyakitkan karena ulah seorang berhati setan.

Ribuan meriam dan ketapel raksasa berpeluru bola api bergantian menghantam pulau terkutuk. Sekarang, bukan hanya namanya, tetapi keadaannyapun menjadi hitam tak berbentuk. Mayat-mayat hidup satu persatu hancur lebur terbakar dan meledak. Sementara sang penyihir tak pernah menyangka akan mendapatkan kejutan seperti ini, dan dia mencoba melarikan diri.

Dalam kepanikan yang hebat, ku hadiahkan sang penyihir sebuah tikaman dari punggungnya. Kucabut pedangku dengan penuh kebanggaan. Dia terdiam sejenak, kemudian berbalik menatapku dengan wajah buruk rupanya sambil terkekeh penuh kesombongan.

“Hiihiii…. Manusia-manusia bodoh! Lihatlah sekeliling kalian!” dia kemudian mengarahkan telunjuknya ke segala arah.

Semua mayat-mayat hidup yang telah hancur dan bahkan sudah tak berbentuk, kembali bangkit. Luka bekas pedangku yang menembus tubuhnya sembuh seketika tanpa berbekas. Di tengah-tengah keterkejutanku, dengan cekatan dia mencekik dan mengangkat tubuhku dengan mudahnya.

Nafasku terasa sesak. Cengkraman kedua tangannya sangat kuat sekali. Dengan segenap tenaga, ku paksakan lenganku untuk bergerak dan mengayukan pedang. “Creekkk…!” Kedua tangannya berhasil kutebas, tetapi sayang sekali hanya beberapa detik saja kedua tangan itu sudah kembali seperti semula.

Dengan membabi buta kuserang dia tanpa ampun. Lagi. Lagi. dan lagi. Semua luka yang dihasilkan tebasanku tak satupun yang tersisa, lenyap seolah dia tidak pernah mengalaminya.
Aku lelah. Stamina dan semangatku tak bisa berkompromi dengan baik. Begitupun dengan para prajurit yang ikut bertempur bersamaku. Semangat mereka yang berkobar mulai luntur menghadapi mayat hidup yang tak bisa mati. Hal baiknya adalah pasukan yang berada di kapal tak melihat keadaan ini sehingnga gempuran meriam dan ketapel tak pernah surut membantu kami.

Dalam lingkar keterpurukan, lengaku terus mengayaunkan pedang. Satu keyakinan yang tak bisa kuhilangkan, yaitu jika si penyihir mati, maka semua mayat hidup itu akan mati.

“Hihihihihi…. Pangeran, apa kau sudah puas menebasku? Sekarang adalah giliranku, karena kulihat kamu sedikit kelelahan. Hihihihi….” Seketika dia menghindar tebasanku yang sudah mulai melambat dan mengarahkan telapak tangannya ke arahku. Seketika tubuhku terpental mundur dan menghantam pohon.

Darah segar menyembur dari mulutku. Tak sampai disitu, dia membuat tubuhku melayang dan menghantamkan tubuhku ketanah. Melemparku ke kanan dan kekiri. Tubuhku serasa hancur dengan semburan darah yang semakin banyak dan bunyi gemeretak tulang-tulang di tubuhku.

Aku yang setengah tak sadarkan diri mencoba bangkit. Mungkin hanya instingku untuk membunuhnya adalah penggerak tubuhku. Dia sangat bersemangat melihatku masih hidup. Untuk kesekian kalianya dia akan mempermainkanku dengan kekuatannya, tetapi tebasan pedang salah satu prajurit berhasil menyelamatkanku dengan menebas lehernya.

Walau kepalanyanya sudah tergeletak di tanah, dia berhasil bangkit lagi. Kemurkaannya memuncak dan dengan kejamnya dia melayangkan tubuh sang prajurit ke udara dan melepas satu demi satu bagian tubuhnya. Dan penutupnya, dia meledakan perutnya.

Melihat hal itu, aku sadar jika sedari tadi dia bisa membunuhku dengan mudah. Entah kenapa dia lebih memilih mempermainkanku. Apa karena aku adalah seorang raja, ataukah dia mempunyai alasan lainnya. Aku sangat murka melihat perbuatannya, tetapi tubuhku sudah tak sepenuhnya menurut kehendak pikiranku.

Kenikmatannya mebunuh tiba-tiba terhenti ketiaka sebuah anak panah melesat dan menancap tepat di mata kanannya. Dengan penuh kemurkaan dia mengarahkan pandangan kearah datangnya sang anak panah. Sayang, bukan wajah ketakutan yang harus dia lihat melainkan kemarahan.

Belasan prajurit melepaskan anak panah ke arahnya walau tak satupun yang mampu mencapai tubuhnya. Kekuatan yang dimilikinya tak membiarkan hal itu terjadi. Kemudian para prajurit itu satu persatu dia hempaskan dengan mudahnya. Aku memaksa tubuhku untuk bergerak karena kesempatan seperti initidak akan datang dua kali, yaitu kesempatan saat dia tak memperhatikanku.

Dengan sekuat tenaga yang tersisa dari tubuh penuh luka, ku mencoba mendekat, kemudian menghempaskan pedang dengan kedua tangannku kearah lehernya. Beharap rencanaku berhasil setelah kusadari sesuatu ketika lehernya ditebas prajurit tadi, yaitu proses penyembuhan dan kembali kekeadaan semulanya lebih lama dari proses penyembuhan yang lain.

Kepalanya melayang ke atas tanah. Dan saat itulah kesempatanku tiba. Kucabut belati dari pingganngu dan kutusuk kepalanya tepat diatas ubun-ubunnya. Sebagian prajurit yang melihat hal itu segera melesat dan menebas tubuhnya dengan penuh nafsu sehingga menjadi potongan-potongan kecil.

Semua mayat hidup yang tak bisa mati tiba-tiba berjatuhan dan tumbang, kemudian berubah menjadi pasir. Semua prajurit yang tersisa bersorak sorai melihat kejadian tersebut. Mereka terbebas dari mimpi buruk yang belum pernah mereka temui sebelumnya.

Darah mengalir dari kedua mata sang penyihir. “ Kurang ajar kau pangeran pengecut! Harusnya kubunuh kau sejak awal! Kau sama saja dengan ibumu, manusia hina yang terkutuk! Kemudian dia menghempaskan nyawa terakhirnya. Wajah buruk rupanya perlahan menghilang dan tampaklah seorang wanita cantik yang kukenal dalam kisah dan lukisan kerajaan. Puteri Feurz!

Sebelum memutuskan menikah dengan ibu, puteri Feurz adalah kandidat utama calon istri ayahku. Sayang, perilaku dia dan ayahnya sangat buruk, karena sering menyengsarakan rakyatnya sehingga ayahku tidak jadi memilihnya. Dia dan ayahnya kemudian memutuskan untuk memerangi kerajaan ayah atas kejadian tersebut. Alhasil, kerajaanya hancur dan mereka berdua dinyatakan telah tewas dalam peperangan tersebut. Dan wilayahnya menjadi bagian kerajaan kami.

Rasa sakit hati dan dendam manusia sungguh mengerikan. Satu, bahkan banyak kerajaan bisa hancur karenanya. Sama seperti putri Feurz, dendamku atas kematian keluarga membuatku kuat dan penuh ambisi demi membalas sebuah rasa sakit hati. Kini semua sudah berakhir. Sudah saatnya aku berdamai dengan diri dan berjuang memajukan negeri.

0 komentar: