Penghancur Berselimut Api
Aku tak pernah menyangka, kota tercinta kini menjadi serpihan tiada arti. Hancur lebur hanya dalam beberapa jam kedatangan mereka. Tak ada satupun yang bisa memprediksi. Mungkin kami terlalu sombong. Merasa maju. Merasa berteknologi.
Kini yang tersisa hanyalah tangis dan derita jutaan umat manusia. Bagaimana bisa sosok besar mereka tidak terdeteksi. Dengan mudahnya mereka menembus atmosfir bumi tanpa ada satupun negara yang mengetahuinya.
Para pesohor teknologi yang sombong itu hanya bisa berucap maaf. Mana senandung kebanggaan mereka yang sudah bisa menciptakan pesawat pengantar manusia ke planet lain. Mana senyum terhebat mereka yang seolah-olah mampu menyaingi kemampuan Tuhan. Kini, kalian hanya bisa terdiam dalam hujat.
Nasi sudah menjadi bubur. Yang tersisa hanya harapan membangun kembali sisa-sisa keganansan sosok penghancur berselimut api. Mungkin ini adalah peringatan bagi kami. Umat manusia yang selalu lupa.
Dalam tangis, ku berharap kau tak pernah datang lagi wahai Meteor.
Kini yang tersisa hanyalah tangis dan derita jutaan umat manusia. Bagaimana bisa sosok besar mereka tidak terdeteksi. Dengan mudahnya mereka menembus atmosfir bumi tanpa ada satupun negara yang mengetahuinya.
Para pesohor teknologi yang sombong itu hanya bisa berucap maaf. Mana senandung kebanggaan mereka yang sudah bisa menciptakan pesawat pengantar manusia ke planet lain. Mana senyum terhebat mereka yang seolah-olah mampu menyaingi kemampuan Tuhan. Kini, kalian hanya bisa terdiam dalam hujat.
Nasi sudah menjadi bubur. Yang tersisa hanya harapan membangun kembali sisa-sisa keganansan sosok penghancur berselimut api. Mungkin ini adalah peringatan bagi kami. Umat manusia yang selalu lupa.
Dalam tangis, ku berharap kau tak pernah datang lagi wahai Meteor.
0 komentar: