'disini untuk koding ga bisa di copy display:block; -webkit-user-select:none; -moz-user-select:none; -khtml-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; unselectable:on;

Tulisan Favorit

.

Pulsa Murah
Tampilkan postingan dengan label Cerita dan Kisah. Tampilkan semua postingan

Cerita Seorang Figuran



images4.wikia

NB: dunia film yang ada di  dalam cerita ini; Mr.Bean, Bruce Almighty, Jason Bourne, Olympus Has Fallen, Transformers, The Amityville Horror, The Conjuring, The Avengers, Inferno dan The Walking Dead. Disarankan untuk menonton film2 tersebut sebelum membaca agar tidak bingung, haha. Selamat membaca ;)

Namaku adalah Figuran. Ada yang kenal? Pasti tidak. Tempat dan tanggal lahir tidak perlu kuberitahu. Saat ini aku sedang sibuk berlari. Seperti namaku, di dunia ini aku adalah seorang figuran, karena tidak terkenal, sangat jarang terlihat, dan selalu jadi korban perasaan ketika seseorang yang disebut tokoh utama beraksi.
 
Aku iri dengan tokoh utama, karena dalam hidupnya mereka selalu mendapatkan sorotan dan pujian. Sesulit apapun tantangan yang dihadapi, mereka selalu berhasil melewatinya. Sayang, mereka tidak tahu keadaan dan nasib para figuran yang terkena imbas aksinya, baik langsung maupun tidak. Aku adalah salah satu figuran yang penuh kesialan karena selalu terkena imbas tindak-tanduk mereka.

Aku ingin bercerita, atau, bisa juga disebut curahan hati seorang figuran. Baiklah, aku akan berghenti berlari dan istirahat sejenak demi bercerita kepada kamu sebelum berlari lagi. Iya, kamu. Wahai rerumputan, semilir angin, dedaunan, dan bau jalanan tolong merapat disaat aku bercerita.

Nasib sialku sebagai manusia tidak penting alias figuran di dalam kehidupan dimulai ketika seseorang yang dikemudian hari terkenal dengan nama Mr.Bean datang ke Negaraku. Ada yang tahu dia? Penuh kepolosan, dari dalam mobil temannya, dia mengacungkan jari tengahnya kepada setiap orang. Dikemudian hari diketahui ternyata tujuannya itu sebagai salam persahabatan. Maklum Mr.Bean, tahulah, perilaku dan otaknya gimana. Aku yang dulu, melihat hal itu merasa terhina, dan langsung balik arah. Dan, duarrr...! Aku menyebabkan kecelakaan beruntun dengan hadiah utama masuk penjara.

Satu tahun kuhabiskan hidup di penjara, sedangkan Mr.Bean? Tahulah gimana kehidupannya. Aku yakin sekali jika banyak orang selain diriku yang hidupnya hancur oleh orang aneh itu. Rasa dendam dan lingkungan penjara merubahku menjadi seorang bajingan, sehingga ketika keluar penjara aku menjadi seorang preman yang suka mempermainkan orang lain yang bertampang polos dan menyebalkan seperti Mr.Bean, sebagai pelampiasan.

Ada yang kenal dengan Bruce Almighty? Kalau belum kenal, dia adalah salah satu korbanku ketika menjadi preman. Melihat wajahnya itu seperti melihat wajah Mr.Bean; sama-sama polos dan memancing kekesalan orang lain. Pertama kali melihat dia, aku merasa bersyukur kepada Tuhan dipertemukan dengannya. Dendamku kepada Mr.Bean bisa dilampiaskan kepadanya, pikirku saat itu.

Awal-awal, aku dan teman-teman sejawat bisa mempermainkannya, tetapi seiring waktu berjalan dia berubah. Benar-benar berubah! Entah apa yang terjadi, dia menjadi Dewa. Dengan kekuatannya, dia mengeluarkan seekor monyet dari dalam bokongku! Bayangkan, benar-benar dari dalam bokong! Aku langsung bertobat saat itu juga, tetapi menyisakan mimpi buruk yang menghantuiku setiap waktu. 

“Ampun...! Tuhan, aku tidak mau mempermainkan orang lagi!“ Jeritku saat itu.

Jiwaku terguncang, hatiku hancur, dan bokongku melebur. Kenapa dia begitu tega mengeluarkan seekor monyet dari bokong. Apa tidak bisa cacing atau ular yang kulitnya lebih halus sehingga tidak terlalu menyakitkan. Kenapa tidak membuatku terpeleset, atau..., atau.... Arghh...! Sudahlah, aku tidak mau mengingatnya lagi! Aku bersyukur otak sengkleknya tidak memikirkan kuda nil atau Kingkong.

Hanya kepada kamu, aku berani bercerita tentang kejadian itu. Iya, kamu. Entah kenapa, aku merasa saat kejadian itu banyak yang menertawakanku, walau aku tidak tahu ada dimana mereka. Mungkin di dunia yang sama denganmu. Mungkin....

Jika ada yang berpikir bokongku tidak apa-apa, dia salah. Ingat! Monyet yang keluar dari bokongku, bukan ingus. Teman-teman segera mengantarku ke Rumah Sakit untuk dioperasi. Hampir tiga bulan lamanya aku dirawat di sana, sedangkan si Bruce, kata teman-temanku dia mengalami kisah yang begitu indah karena mendapat kehidupan yang sempurna dan kekasih yang cantik. 

Setelah keluar Rumah Sakit, aku memutuskan pindah kota agar tidak bertemu lagi dengan si Bruce. Sayang, nasib sial tidak mau melepaskanku meski sudah bertobat. Di tengah perjalanan, aku dihadang lelaki berpakaian serba hitam. Sialnya, itu adalah agen CIA yang sedang mengejar Jason Bourne! Ada yang kenal? Aku dipaksa berhenti dan mobilku dibawa kabur olehnya. “Ya, Tuhan...!” Aku berteriak ke arah awan di langit yang sama sekali tidak mempedulikanku karena sedang fokus melihat kejar-kejaran CIA dan Bourne.

Dengan berat hati aku melanjutkan perjalanan naik taksi dengan tujuan pertama ke kantor polisi terdekat untuk melapor agar mendapat ganti rugi atau setidaknya mobil bisa kembali. Di bawah terik mentari dan gerahnya udara, taksi terpaksa berhenti karena jalanan macet terhalang mobil hancur berserakan. Seperti orang lain, aku keluar dari taksi untuk melihat lebih jelas apa yang terjadi. Tubuhku langsung lemas ketika melihat mobilku terbalik dan hancur berantakan berhiaskan mayat sang agen yang menyeruak dari kaca depan. Rasakan....! Upss..., maaf aku suka keceplosan jika ingat kejadian itu.

Sedih dan kesal campur aduk, tetapi setidaknya aku masih bisa bersyukur karena tidak mengalami nasib seperti mereka yang berada di dalam mobil hancur. Saat itu, aku mengutuk aksi Jason Bourne dan para agen CIA, karena mereka hanya memikirkan diri sendiri tanpa berpikir bagaimana nasib orang lain. Kenapa mereka tidak pergi ke Texas dan kejar-kejaran di gurun saja, malah di kota besar yang banyak penduduk atau sekalian saja beli satu kota khusus buat mereka saling kejar dan bunuh. 

Setelah memotret bangkai mobil untuk klaim dan mencoba menghibur diri dengan memikirkan hal-hal positif, aku memutuskan mencari tempat tinggal untuk mengistirahtkan tubuh. 

Esoknya, untuk melepaskan penat dari kesialan yang tak kunjung pergi, aku memutuskan bersantai di taman sekitar White House. Sedang enak-enaknya bersantai, tiba-tiba terdengar suara pesawat yang diringi ledakan sekitar tiga puluh meter dibelakangku. Tubuhku terpental cukup jauh dan mencumbu tanah berselimutkan rumput hijau. Kesadaranku memudar diantara suara riuh kepanikan orang-orang, “Terrorist attack...! Terrorist attack...!” Ada yang tahu kejadian itu?

Ketika tersadar, aku sudah berada di atas kasur sebuah Rumah Sakit dengan banyak perban menyelimuti tubuh. Kata dokter, aku sangat beruntung hanya mengalami luka sedang karena orang lain yang berada disekitarku rata-rata mengalami cedera parah, bahkan banyak yang meninggal. Sepertinya bangku yang kududuki ikut terpental, selain menindih, juga melindungi tubuh. Haduhh..., setelah bokong, tubuh mendapat giliran kerusakan, dan kata dokter harus istirahat di Rumah Sakit sekitar tiga sampai empat bulan.

Televisi tidak henti-hentinya memberitakan penyerangan teroris yang berhasil digagalkan oleh seorang mantan agen pengamanan presiden, Mike Banning. Untuk pertama kalinya, pada saat itu aku merasa bersyukur ada orang itu karena dia layak mendapatkan semua perhatian atas aksi heroiknya. Jika berada di posisinya, aku akan memilih kabur daripada mati konyol.

Dua hari berlalu, media cetak dan elektronik masih belum bosan memberitakan aksi Mike Banning, sehingga membuat para korban termasuk aku mulai kesal karenanya. Selama dua hari hanya sekali Televisi menyiarkan keadaan korban penyerangan, itu pun televisi lokal. Saat itu aku beranggapan jika lagi-lagi tukang sedot perhatian menghilangkan jejak para korban, entah itu disengaja agar semua orang merasa sudah aman atau untuk menutupi keamanan yang gagal total. Entah, lah.

Hari keempat belas di Rumah Sakit, tidur siangku dibangunkan oleh getaran yang diikuti ledakan dan membuatku terbangun dalam keadaan kaget dan penuh tekanan batin. Semua orang di Rumah Sakit riuh dengan ketakutannya masing-masing. Aku takut itu adalah gempa San Andreas, apalagi kamarku berada di lantai dua. Saat itu, aku berpikir kematian akan menjemput.

Brakkk...! Sesosok tubuh robot raksasa menghantam keras dari arah balkon, dan kepalanya tepat menghantam ujung ranjang. Ranjangku terdorong ke dinding dan lantai retak berantak. Robot itu bangun, menggeleng-gelengkan kepala, kemudian kembali melompat keluar tanpa merasa ada yang salah di sekitarnya.

Saat kejadian itu aku hanya bisa melongo, meski ranjangku sudah berubah posisi dan lantai di bawahnya menungu detik-detik peluncuran ke lantai satu. Dikemudian hari aku mengetahui robot itu adalah anggota Autobot yang sedang berperang dibawah komando Optimus Prime melawan pasukan Decepticon milik Megatron. Ada yang kenal mereka? 

Seperti biasa, waktu itu aku terbangun di salah satu kamar Rumah Sakit, tapi berbeda, mungkin sudah dipindah karena yang sebelumnya mengalami kerusakan. Kata dokter, aku pingsan selama empat hari dimana tulang kaki dan pinggang retak karena meluncur dari lantai dua bersama ranjang. Berita yang hebat sekali bukan, dimana saat itu aku lebih berharap mati saja mengingat luka yang sebelumnya saja masih belum sembuh.

Menurut berita saat itu.... Ah, sudahlah..., aku tidak perlu cerita berita saat itu! Manusia ganteng, menderita dan butuh perhatian sepertiku tidak dibahas sama sekali oleh mereka. Mengingat waktu sudah mendesak, ratusan kejadian lain yang berlangsung selama aku di rawat akan kuceritakan jika umurku masih panjang di waktu yang lain. Sekarang langsung saja ke cerita setelah sembuh, dimana aku memutuskan kembali ke kota kelahiranku. Saat itu, aku lebih baik bertemu Bruce daripada menderita dengan semua aksi gila yang selalu terjadi dikota itu.

Di tengah perjalanan, hari itu tepatnya sekitar pukul tujuh malam, tiba-tiba aku ingin buang air kecil. Aku mencoba bertahan dan terus melaju sampai menemukan tempat yang tepat. Kulihat di pinggir jalan yang sepi ada pohon besar, rindang, dan terlihat tepat untuk melancarkan aksi. Ketika akan memulai aksi, kulihat ada rumah kosong yang tidak terlalu jauh dari pohon tempatku berdiri dan disampingnya ada pohon yang lebih rindang. Saat itu, aku berpikir di sana lebih tepat agar tidak terlihat orang lain yang melintas.

Perasaan lega dan nikmat bercampur saat aku melepas air seni yang segera membanjiri akar besar sang pohon. Tiba-tiba hembusan angin dingin menyelimuti tubuh, tetesan air jatuh menimpa kepala, dan bulu kuduk spontan berdiri. Merasakan hal ganjil seperi itu tidak membuatku merasa takut, karena melihat pertarungan Autobot versus Decepticon secara dekat lebih menakutkan.

Setelah menutup resleting sembari bersiul penuh percaya diri, aku menyalakan lampu handphone dan menyinari pohon rindang tersebut secara perlahan dari bawah sampai atas. Satu detik kemudian, tubuh banjir oleh keringat, menelan ludah yang tidak ada, wajah pucat, dan kaki melesat terbirit-birit menuju mobil. Waktu itu aku benar-benar ketakutan karena pohon itu bermandikan darah dan berhiaskan kepala manusia di batang dan cabangnya dengan sorot mata tertuju kepadaku. Ada yang tahu rumah dan pohon itu?

Ratusan meter dari sana aku menemukan sebuah pom dan memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu. Orang-orang di sana mengatakan jika rumah yang aku datangi itu adalah rumah pembunuhan DeFeo. Cerita angker rumah itu sangat terkenal di kota kelahiranku. Aku tidak pernah menyangka akan mendatanginya sendirian, bahkan sambil buang air kecil dan bersiul.

Aku kembali melanjutkan perjalanan dengan perasaan bahagia karena sebentar lagi akan segera sampai. Beberapa menit kemudian perasaan heran menyelimuti pikiran karena dari jauh melihat awan hitam melingkar di atas kota yang diikuti getaran selama beberapa menit. Saat itu aku cuma bisa berharap semoga tidak ada bencana yang terjadi.

Aku mempercepat laju mobil. Semakin dekat ke kota, semakin jelas terlihat kepanikan orang-orang, dan ketika memasukinya terlihatlah kehancuran yang maha dahsyat. Aku keluar dari mobil dan berdiri dalam kebekuan karena merasa tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Banyak korban berjatuhan, bangunan-bangunan hancur, dan banjir air mata menghiasi kota megah yang selalu dipuja dunia. Orang-orang memberitahuku jika kota hancur akibat pertarungan Alien versus The Avenggers. Ada yang tahu kejadian itu?

“Alien dan The Avengers sialan, memilih tempat bertempur seenaknya. Mati saja kalian semua!” Saat itu aku benar-benar marah. Lebih marah lagi ketika mengetahui keluargaku meninggal semua. Entah bagaimana dengan nasib si Bruce Almighty, apakah sekarang dia masih hidup atau tidak,  tapi tidak penting juga mengingat manusia yang satu itu.

Jiwaku yang terguncang sangat mengharapkan kematian dan kiamat bagi dunia. Keadaan saat ini membuatku menyesal telah mengharapkan hal bodoh seperti itu, karena saat ini, aku berharap dunia kembali seperi waktu itu walau penuh dengan konflik dan keegoisan.

Setelah kejadian itu, aku memutuskan tinggal di hutan, tepatnya di kabin mendiang kakek agar mendapatkan ketenangan. Saat itu, aku memang berharap untuk mati tetapi tidak berani bunuh diri karena takut sakit sehingga memilih mengasingkan diri dan mengharapkan mati saat tertidur. Konyol bukan? Sayang, ketenangan hanya bertahan satu bulan, karena tiba-tiba bermunculan banyak orang berlarian menuju puncak gunung sambil meneriakan sebuah kata: "Inferno."

Informasi mengenai Inferno akhirnya mengalir dari orang-orang itu, walau versi ceritanya terkadang berbeda-beda tetapi satu kesamaan akhir kata, yaitu kematian. Saat itu, jiwa yang sudah tenang kembali bergejolak karena bencana dan tragedi yang lebih besar akan menyambangi dunia. Aku benar-benar ingin segera meninggalkan dunia fana dan berharap segera bertemu dengan Inferno; virus seleksi manusia karya seorang ilmuwan biologi gila. 

Semua orang di dunia sangat ketakutan, karena dalam beberapa jam lagi virus itu akan menginfeksi dan menyeleksi manusia untuk memilih mana yang harus mati dan mana yang boleh hidup. Kata orang-orang itu, rencana penyebaran virus sebenarnya sudah berhasil digagalkan oleh profesor Robert Langdon dan tim WHO, tetapi tim yang membawanya diserang teroris yang ingin merebutnya. Inferno pun terlepas akibat peluru liar. 

Aku bertanya kepada mereka mengapa lari ke pegunungan, sedangkan virus itu mampu menjangkau seluruh penjuru dunia. Mereka hanya menunduk dan meneteskan air mata. Rasa pesimisku saat itu tidak mampu menjangkau perasaan mereka yang masih mengharapkan adanya harapan dan keajaiban. Jika mereka masih hidup saat ini, aku akan meminta maaf.

Aku yang tidak tertarik melakukan perbuatan sia-sia seperti mereka lebih memilih masuk ke dalam kabin dan berbaring di kasur menunggu pelukan Inferno, karena sejak tragedi yang merengut keluarga, aku sangat ingin mati. Aku benar-benar tidak menyukai diriku saat itu. Memalukan! Aku terlelap saat Inferno tiba bersama hembusan angin untuk menghantar ke dunia lain. 

Sial...! Beribu-ribu sial yang turun dari langit, karena si Inferno memilihku tetap hidup. Inilah aku saat ini, figuran ganteng yang sedang bercerita kepadamu. Tahu, tidak, untuk sampai ke tempat ini aku berlari empat hari empat malam tanpa henti.

Sampai di sini dulu ceritanya, ya, istirahatku harus disudahi secepatnya karena harus berlari lagi. Jika aku menemukan tempat aman dan masih hidup, akan kusapa kamu dengan cerita lainnya, hehe....

Tuhan..., kenapa saat itu aku tidak mati oleh Inferno? Dasar virus tidak bermutu, apanya yang seleksi kematian, malah menciptakan jutaan zombie di dunia! Arrgghh..., sial! Sampai kapan aku harus berlari. Aku memang ingin mati, tapi dengan tenang, bukan digigit Zombie!

“Tolong, lah, hambamu ini, Tuhan!”


By: Syams-X
Baca Selengkapnya »

Para Pembawa Bunga Api



Dentuman kegelisahan intimidasi ketenangan
Ruam sudah daratan rata
Emosi cinta meluap deras
Logika tak lagi berdaya
Ketakutan tak lagi beban
Kematian bukan halangan,
Hanya pintu lain dari sebuah perjalanan
Mulut terdiam, tatap menajam, kaki melaju
Dan tangan menggetar juang
Menghempas liar bunga api
Menyeruak melahap musuh

Terlambat sudah…
Ratusan butir peluru terlepas dari kandangnya
Melahap jiwa para pembawa bunga
Menyisakan isak tangis penjuru negeri
Bergema ke setiap sudut dunia

Aku takut, tapi marah. Kebimbangan terus menyelimuti diri. Mengapa kematian begitu menakutkan, hingga membuatku menjadi seorang pengecut. Harus berapa kali meyakinkan diri negeri tercinta menangis darah.

Satu jam lamanya dalam kegundahan. Tarik ulur keyakinan membebani diri. Ingin kulangkahkan kaki menuju api pertempuran, tapi cita membayangi. Aku siap mati demi negeri, tapi bayangan hasrat seperti menikmati musik, bermain game, berceloteh penuh canda bersama teman-teman atau hal-hal biasa yang dilakukan pemuda seumuranku menariku dalam khayal indah. Aku lemah….

Kutarik napas, dan kuhembuskan penuh keyakinan. Biarlah indah khayal yang tak tergapai terwaris untuk adiku.  Kekuatan hati melangkahkan kaki untuk keluar menuju medan perang. Pelukan, kecupan, dan senyuman terindah dan terakhir dari Bunda tercinta telah menghantarku. Air matanya yang berlinang mengalirkan pesan bahwa kami akan bertemu lagi di surga.

Kuberlari cepat. Dan semakin cepat. Semakin dekat, dadaku semakin berdegup kencang. Akhirnya aku sampai di depan gerbang angkuh yang berhiaskan kawat tajam yang selalu menertawai kematian teman-temanku.

Melodi tak karuan dari peluru yang menghantam jalanan memberikan kebisingan yang nyata. Asap yang menyelimuti kedua kubu tak mau pergi. Terdiam penuh iba. Menyelubungi agar tiada tikai. Sayang tekad kedua kubu berasaskan titik juang masing-masing.

Kuhempaskan bunga api. Dia meliuk-liuk indah di udara dan menerkam ganas tiga pasukan musuh. Seketika itu juga, tusukan-tusukan gas air mata yang melesat dari udara menjeritkan mataku. Pijakan tak lagi jelas, tubuhku sedikit limbung.

Raungan senjata musuh kembali terdengar keras. Ratusan peluru haus darah melesat cepat mengincar tubuh-tubuh tak berpelindung. Dalam kaburnya pandangan, kulihat teman-temanku berguguran satu demi satu.

Satu lagi bunga api terhempas dari tanganku. Perasaan bangga menyunggingkan senyum di bibirku diringi dengan hangatnya darah mengalir dari dada dan pahaku. Sesaknya nafas menghantarku menuju gerbang keabadian. Mungkin bagi sebagian orang yang aku lakukan adalah perbuatan sia-sia, tapi bagaimana jika mereka berada di posisiku. Terang dalam perang dan damai dalam gelap.

Selamat tinggal ibu.

Baca Selengkapnya »

BAYANGAN


Dua minggu sudah aku berada di kamar hotel ini. Keluar-pun hanya untuk mencari makan dan menghirup udara segar, kemudian segera kembali. Bukannya tidak mau, tetapi belum saatnya bagiku mendapatkan informasi di luar sebelum data aktifitas sasaran kudapatkan. Dengan teropong canggih yang selalu menemani, aku bagaikan laki-laki psycho yang suka menguntit dan ingin tahu rahasia orang, tapi itulah tugasku.

Yang kulakukan hanya mengarahkan kedua mata berbinarnya, sementara jariku bergerak mencatat data yang dibutuhkan untuk menopang aksiku nanti. Untuk tugas kali ini sedikit berbeda dari biasanya, karena baru pertama kali yang kuintai adalah seorang wanita cantik. Dia adalah seorang reporter sekaligus wanita simpanan seorang jendral besar di Negara yang sedang kukunjungi ini.

Mungkin, jika ini sebuah film, aku akan jatuh cinta dan meresikokan tugas demi dia. Sebagai pria normal, aku memang menyukainya, tapi sebagai sebuah kenyataan, aku akan melenyapkannya. Dan saat ini aku berada kenyataan itu.

Aku yakin banyak orang yang lebih memihak wanita itu daripada aku jika mereka mengetahui apa yang akan kulakukan padanya. Demi cintanya pada sang jendral dia rela membahayakan hidupnya dengan menjadi salah satu orang kepercayaan. Si tampan bersenyum manis itu memang hebat membuat wanita-wanita simpanannya menjadi gudang informasi.

Seperti halnya wanita itu, akupun juga begitu. Demi cinta kepada tanah air yang jaraknya ribuan kilometer dari sini, aku rela mati. Lagu Queen, Too much love will kill you sepertinya sangat cocok untuk kami berdua. Sebagai seorang agen mata-mata, cintaku sangat berlebihan, dan itu wajib dimiliki oleh semua agen. Jika cinta seorang agen tidak berlebihan, maka aku tak berguna.

Aku tidak peduli jika ribuan bahkan jutaan manusia membenciku karena tak bernurani. Aku tidak peduli jika harus mati di tempat tidak diketahui orang lain sekalipun. Aku tidak peduli jika neraka adalah persinggahanku berikutnya setelah dunia ini. Yang aku tahu, pengabdianku untuk negeri sampai mati.

Jika melenyapkan 1 bisa menyelamatkan 10, mengapa tidak. Filosofiku selalu, dan akan selalu begitu. Terlihat bajingan tapi itu adalah kenyataan. Terkadang dibenci lebih menyenangkan daripada di sukai tapi tak punya rasa cinta.

***

Nada sms hp ku berbunyi. Kubaca 9 pesan dari rekan-rekanku, dan itu berarti aku orang terakhir yang belum mendapatkan informasi apapun. Wanita yang satu ini sangat tangguh walau dia hidup dalam kebohongan.

Kesabaranku menanyainya sudah usai. Kepalan dan telapak tanganku-pun sudah lelah mencumbuinya. Mungkin dia memang tidak tahu apa-apa, tetapi sudah saatnya senjata pamungkasku keluar. Sebuah senjata dahsyat dari mulut berbisaku, yaitu kenyataan. Semua itu untuk mengungkapakan semua hal yang datang dari kekasihnya, apapaun itu.

Dia adalah wanita simpanan ke sepuluh. Dan satu lagi, sebuah fakta bahwa aku tahu dimana ibu dan adik-adiknya tinggal membuat semua ini menjadi mudah. Rahasia yang kuinginkan muncul sendirinya. Sangat menyedihkan, karena dia tidak tahu jika cincin berlian yang diberikan kekasihnya berisi sebuah kode.

Sebagai penghormatan atas kejujurannya, kuijinkan dia menelepon ibu tercinta dan kehormatan menarik sendiri pelatuk pistolku. Sorot matanya yang tak ragu menarik pelatuk menunjukan dia sudah tidak ingin lagi berada dalam kenyataan hidup saat ini. Aku berlalu pergi dengan sebuah jaminan. Keselamatan bagi keluarganya.

***

Esoknya. Pemberitaan mengenai tewasnya 10 wanita cantik menjadi misteri besar bagi kepolisian di Negara ini. Tapi tidak untuk sang Jendral, karena hal itu adalah pesan kematian, dia dan rahasianya. Walau aku adalah salah satu pembunuh yang bertanggung jawab tetapi kenyataan mereka dijadikan brankas hidup membuat si jendral adalah pelaku sebenarnya.

Sebelum membereskan tugas, aku pergi kerumah keluarga wanita itu. Sebuah surat yang hanya berisi sedikit kata-kata kutinggalkan tepat di depan pintunya. Ketika ku melangkah pergi, sejenak rasanya ku ingin kembali dan mengambilnya lagi. Keberadaan surat itu membuatku merasa menyeret diri sendiri kedalam sebuah kisah film. Aku bodoh!

***

Tepat tengah malam, sebuah gedung perbelanjaan porak-poranda di lahap ledakan bom dahsyat. Mengetahui hal itu, aku yang sedang duduk nyaman di dalam sebuah limo mewah mendapatkan kelegaan. Tempat belanja sekaligus pusat riset rahasia dari rudal antar benua yang nantinya akan digunakan untuk menghancurkan negaraku telah lenyap.

Beberapa saat kemudian sms yang berisi kata “Beres” pun datang. Setelah terbaca, dengan mantap kutatap teman duduku yang sedari tadi terdiam karena ujung pistol memeluk erat perutnya.

“Selamat Jendral. Pusat risetmu hancur. Keluargamu-pun telah berpamitan. Kini, saya persilahkan anda untuk menemui mereka!”

“Door!”
“Door!”
“Door!”

Angka ganjil itu indah, menurutku. Sebagai penghormatan untuk pahlawan Negara ini, kuberikan tanda keindahan itu. Betapapun buruknya reputasi dia di hadapan negaraku, tapi di tanah airnya dia adalah sang pahlawan.

Seorang pahlawan itu adalah cahaya untuk yang dilindunginya dan kegelapan bagi yang dilawannya. Sayang, aku bukanlah pahlawan seperti itu, karena aku hanyalah bayangan. Disana hitam, disini-pun hitam. Bukan prajurit nyata yang akan mendapatkan medali setelah bertempur.

***

Enam bulan kemudian.
Hp cadangan yang telah ku persenjatai anti lacak tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan email dari masa lalu datang menjemput. Kukira hari ini tidak akan pernah datang. Tapi inilah saatnya aku menghapus kebodohanku.

Syams-X 10-5-2015

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh,
tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan
tidak ada unsur kesengajaan.
Baca Selengkapnya »

FEURZ

Aku terpuruk dan hancur. Keluarga dan negeriku tercabik di hadapan mata. Lemah. Aku sungguh bajingan lemah yang tak bisa berbuat apa-apa! Harusnya ku mati bersama mereka, daripada menanggung beban sebagai pangeran tak berguna.

***

Suara sirine dari berbagai penjuru negeri memekakan telinga. Dentuman meriam dan suara senapan mengalir mengikutinya begitu cepat. Ayahku, sang raja, melesat bersama para jendral tertinggi dengan kuda perang mereka. Dan Aku, terdiam dalam lingkar kecemasan bersama ibu dan kedua adik perempuanku.

Aku bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya. Baru kali ini ada pasukan musuh yang mampu memasuki negeriku yang sangat kuat. Apakah mereka monster? Ataukah ini hanya mimpi.
Aku tersadar dari kesombongan anggapan saat ratusan pengawal terbunuh dengan sangat mengerikan. Dan saat itulah pertama kalinya kulihat sosok makhluk terkutuk dengan wajah yang sangat buruk.

Aku berusaha menyelamatkan ibu dan kedua adiku, sayang mereka tak mampu melarikan diri dari cengkraman tangan setan-setan itu. Aku berlari tanpa menoleh lagi ke belakang. Dengan hati yang luka dan penuh keputusasaan, kunaiki tangga menuju puncak kastil, karena disana terdapat balkon tempat biasa ku sembunyi jika marah kepada ayah.

Empat hari aku terdiam dalam cekam. Tak satu tetes air matapun yang keluar, malah hasrat untuk mati lebih besar dari hal apapun yang kuinginkan didunia ini. Aku frustasi, sedih, marah, dendam dan kecewa. Semua bercampur aduk dalam raga penuh kepayahan.

***
Sepuluh tahun berlalu, dan aku masih merasakan kepedihan ini. Semakin dalam kepedihanku, semakin dalam pula ku berjuang menemukan asal mereka. Berkat pengorbanan para prajurit dan sukarelawan, dan juga kerjasama antar kerajaan, ambisiku semakin menjadi nyata.

Kini aku sudah berdiri diatas tanah pulau hitam, pulau dimana penyihir perempuan terkutuk Volteriz menciptakan setan-setan yang mencabik keluarga dan rakyatku. Dalam lautan dendam, aku dan para sekutu sangat menantikan hari ini. Mati-pun tak jadi masalah daripada hidup menanggung kenangan yang sangat menyakitkan karena ulah seorang berhati setan.

Ribuan meriam dan ketapel raksasa berpeluru bola api bergantian menghantam pulau terkutuk. Sekarang, bukan hanya namanya, tetapi keadaannyapun menjadi hitam tak berbentuk. Mayat-mayat hidup satu persatu hancur lebur terbakar dan meledak. Sementara sang penyihir tak pernah menyangka akan mendapatkan kejutan seperti ini, dan dia mencoba melarikan diri.

Dalam kepanikan yang hebat, ku hadiahkan sang penyihir sebuah tikaman dari punggungnya. Kucabut pedangku dengan penuh kebanggaan. Dia terdiam sejenak, kemudian berbalik menatapku dengan wajah buruk rupanya sambil terkekeh penuh kesombongan.

“Hiihiii…. Manusia-manusia bodoh! Lihatlah sekeliling kalian!” dia kemudian mengarahkan telunjuknya ke segala arah.

Semua mayat-mayat hidup yang telah hancur dan bahkan sudah tak berbentuk, kembali bangkit. Luka bekas pedangku yang menembus tubuhnya sembuh seketika tanpa berbekas. Di tengah-tengah keterkejutanku, dengan cekatan dia mencekik dan mengangkat tubuhku dengan mudahnya.

Nafasku terasa sesak. Cengkraman kedua tangannya sangat kuat sekali. Dengan segenap tenaga, ku paksakan lenganku untuk bergerak dan mengayukan pedang. “Creekkk…!” Kedua tangannya berhasil kutebas, tetapi sayang sekali hanya beberapa detik saja kedua tangan itu sudah kembali seperti semula.

Dengan membabi buta kuserang dia tanpa ampun. Lagi. Lagi. dan lagi. Semua luka yang dihasilkan tebasanku tak satupun yang tersisa, lenyap seolah dia tidak pernah mengalaminya.
Aku lelah. Stamina dan semangatku tak bisa berkompromi dengan baik. Begitupun dengan para prajurit yang ikut bertempur bersamaku. Semangat mereka yang berkobar mulai luntur menghadapi mayat hidup yang tak bisa mati. Hal baiknya adalah pasukan yang berada di kapal tak melihat keadaan ini sehingnga gempuran meriam dan ketapel tak pernah surut membantu kami.

Dalam lingkar keterpurukan, lengaku terus mengayaunkan pedang. Satu keyakinan yang tak bisa kuhilangkan, yaitu jika si penyihir mati, maka semua mayat hidup itu akan mati.

“Hihihihihi…. Pangeran, apa kau sudah puas menebasku? Sekarang adalah giliranku, karena kulihat kamu sedikit kelelahan. Hihihihi….” Seketika dia menghindar tebasanku yang sudah mulai melambat dan mengarahkan telapak tangannya ke arahku. Seketika tubuhku terpental mundur dan menghantam pohon.

Darah segar menyembur dari mulutku. Tak sampai disitu, dia membuat tubuhku melayang dan menghantamkan tubuhku ketanah. Melemparku ke kanan dan kekiri. Tubuhku serasa hancur dengan semburan darah yang semakin banyak dan bunyi gemeretak tulang-tulang di tubuhku.

Aku yang setengah tak sadarkan diri mencoba bangkit. Mungkin hanya instingku untuk membunuhnya adalah penggerak tubuhku. Dia sangat bersemangat melihatku masih hidup. Untuk kesekian kalianya dia akan mempermainkanku dengan kekuatannya, tetapi tebasan pedang salah satu prajurit berhasil menyelamatkanku dengan menebas lehernya.

Walau kepalanyanya sudah tergeletak di tanah, dia berhasil bangkit lagi. Kemurkaannya memuncak dan dengan kejamnya dia melayangkan tubuh sang prajurit ke udara dan melepas satu demi satu bagian tubuhnya. Dan penutupnya, dia meledakan perutnya.

Melihat hal itu, aku sadar jika sedari tadi dia bisa membunuhku dengan mudah. Entah kenapa dia lebih memilih mempermainkanku. Apa karena aku adalah seorang raja, ataukah dia mempunyai alasan lainnya. Aku sangat murka melihat perbuatannya, tetapi tubuhku sudah tak sepenuhnya menurut kehendak pikiranku.

Kenikmatannya mebunuh tiba-tiba terhenti ketiaka sebuah anak panah melesat dan menancap tepat di mata kanannya. Dengan penuh kemurkaan dia mengarahkan pandangan kearah datangnya sang anak panah. Sayang, bukan wajah ketakutan yang harus dia lihat melainkan kemarahan.

Belasan prajurit melepaskan anak panah ke arahnya walau tak satupun yang mampu mencapai tubuhnya. Kekuatan yang dimilikinya tak membiarkan hal itu terjadi. Kemudian para prajurit itu satu persatu dia hempaskan dengan mudahnya. Aku memaksa tubuhku untuk bergerak karena kesempatan seperti initidak akan datang dua kali, yaitu kesempatan saat dia tak memperhatikanku.

Dengan sekuat tenaga yang tersisa dari tubuh penuh luka, ku mencoba mendekat, kemudian menghempaskan pedang dengan kedua tangannku kearah lehernya. Beharap rencanaku berhasil setelah kusadari sesuatu ketika lehernya ditebas prajurit tadi, yaitu proses penyembuhan dan kembali kekeadaan semulanya lebih lama dari proses penyembuhan yang lain.

Kepalanya melayang ke atas tanah. Dan saat itulah kesempatanku tiba. Kucabut belati dari pingganngu dan kutusuk kepalanya tepat diatas ubun-ubunnya. Sebagian prajurit yang melihat hal itu segera melesat dan menebas tubuhnya dengan penuh nafsu sehingga menjadi potongan-potongan kecil.

Semua mayat hidup yang tak bisa mati tiba-tiba berjatuhan dan tumbang, kemudian berubah menjadi pasir. Semua prajurit yang tersisa bersorak sorai melihat kejadian tersebut. Mereka terbebas dari mimpi buruk yang belum pernah mereka temui sebelumnya.

Darah mengalir dari kedua mata sang penyihir. “ Kurang ajar kau pangeran pengecut! Harusnya kubunuh kau sejak awal! Kau sama saja dengan ibumu, manusia hina yang terkutuk! Kemudian dia menghempaskan nyawa terakhirnya. Wajah buruk rupanya perlahan menghilang dan tampaklah seorang wanita cantik yang kukenal dalam kisah dan lukisan kerajaan. Puteri Feurz!

Sebelum memutuskan menikah dengan ibu, puteri Feurz adalah kandidat utama calon istri ayahku. Sayang, perilaku dia dan ayahnya sangat buruk, karena sering menyengsarakan rakyatnya sehingga ayahku tidak jadi memilihnya. Dia dan ayahnya kemudian memutuskan untuk memerangi kerajaan ayah atas kejadian tersebut. Alhasil, kerajaanya hancur dan mereka berdua dinyatakan telah tewas dalam peperangan tersebut. Dan wilayahnya menjadi bagian kerajaan kami.

Rasa sakit hati dan dendam manusia sungguh mengerikan. Satu, bahkan banyak kerajaan bisa hancur karenanya. Sama seperti putri Feurz, dendamku atas kematian keluarga membuatku kuat dan penuh ambisi demi membalas sebuah rasa sakit hati. Kini semua sudah berakhir. Sudah saatnya aku berdamai dengan diri dan berjuang memajukan negeri.
Baca Selengkapnya »